Kamis, 19 Mei 2011

Kaya = ilmunya barokah. Benarkah...?

Si Edi (nama samaran) adalah seorang santri yang memperoleh predikat Santri Clemer. Dalam catatan pengurus pondok pada masanya, dia selalu istiqomah mengulang pelanggarannya terhadap peraturan2 pesantren. Segala model hukuman telah ditimpakan pada dia namun tidak membuatnya jera. Bahkan ditingkat pengurus pernah pula diadakan rapat koordinasi khusus membahasnya. 10 tahun kemudian si Edi dikaruniai Allah dengan keluasan rejeki, dia kaya raya dan usahanya selalu diberi keberhasilan.

Di sisi lain adalah si Ahsan (juga bukan nama sebenarnya) adalah santri yang mempunyai nilai oke di mata para pengurus pada masanya. Tingkahnya selalu mendapat pujian. Prestasinya mantab. 10 tahun kemudian ternyata dia di kasih kesempitan rejeki oleh Allah, usahanya selalu gagal.

Dengan 2 kisah diatas, biasanya kebanyakan kita sebagai santri akan berkomentar: "liat si Edi, walaupun di pondok MELER tapi ilmunya barokah, (dia kaya)". Sebaliknya "liat si Ahsan dia dulu anak baik-baik tapi ilmunya tidak manfaat, dia dikasih kesempitan hidup"

Masih umum jalan pemikiran santri mengukur barokah ilmu (manfaat ilmu) dengan kondisi hidup seseorang jika sudah boyong dari pesantren. Kalau melihat ada alumni di"kayakan" oleh Allah dianggapnya sebagai keberhasilan menuntut ilmu, jika ada yang mengalami kesulitan hidup dianggapnya sebagai kegagalan menuntut ilmu (madura: kening tola) itu adalah pandangan-pandangan salah kaprah yang sudah berlangsung lama yang perlu di LURUSkan.

Bagaimana meluruskannya? berikut adalah beberapa tips usulan saya:
1. Kita harus memahami arti ilmu manfaat / barokah. Ilmu manfaat adalah ilmu yang bisa mendekatkan si empunya kepada Allah yang mempunyai sifat Ilmu. Jelas sekali kedekatan seseorang kepada Tuhannya tidak diukur dengan materi. Bisa saja si Ahsan dalam kisah diatas adalah orang yang sangat dekat kepada Allah, dan si Edi adalah orang yang jauh. Ada juga yang mengartikan ilmu manfaat itu dengan arti ilmu yang selalu berkembang sebab diamalkan.
2. Urusan kaya / miskin materi itu adalah sama-sama merupakan ujian dari Allah. Si miskin Ahsan paham bahwa dirinya sedang diuji oleh Allah, karena dia tahu waktu dulu belajar di pondok bahwa hidup adalah ujian.  Sementara si Edi tidak menyadari bahwa kekayaannya adalah ujian, karena memang tidak pernah menerima pelajaran bahwa hidup adalah ujian. dengan begitu siapa yang manfaat ilmunya...? Edi atau Ahsan?
3. Bacalah kisah-kisah para Nabi, khususnya Nabi-Nabi yang miskin tapi dekat dengan Allah.

Semoga tiga tips di atas bisa mencabut pikiran salah yang tertanam sekian lama. Wallahu a'lam.

syafJTR.

Kesalahan Orang NU dalam memahami Madzhab NU

Oleh: Syafii Nur *)


Maha Suci Allah yang telah menciptakan.

Sudah umum dikalangan kita warga NU, kalau melihat orang sholat shubuh tidak baca doa Qunut lantas mereka melabeli dia sebagai orang "muhammadiyah". Sudah umum warga kita NU jika melihat ada orang memelihara anjing, mereka melabeli dia dengan "dia bukan orang Islam". Sudah umum warga kita NU jika melihat orang lagi sholat memakai celana dan tidak berkopyah, mereka melabeli dia dengan "dia bukan ahlussunnah". Pertanyaannya adalah: Benarkah apa yang dikatakan warga kita itu...?
Untuk menjawabnya mari kita melirik sedikit pada faham NU yang di AD/ART NU, biar kita tahu NU itu ada dijalan yang mana.

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan kelenturan sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan perkembangan jaman - melintas ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). 


Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).


Nah, dari uraian singkat diatas kita bisa memahami dan menjawab ketidaktahuan sebagian warga NU bahwa sholat shubuh tidak membaca doa qunut, sholat tidak memakai kopyah dan memakai celana panjang boleh-boleh saja dilakukan oleh warga NU, karena semua ada penjelasannya didalam salah satu 4 madzhab yang duikuti NU. Bahkan orang NU memelihara anjing-pun tidak masalah, toh menurut madzhab Maliky anjing itu tidak najis. Tinggal pintar-pintarnya dia mau ikut madzhab yang mana.

Kesimpulannya adalah bahwa Doa Qunut, Sarung, Kopyah, Anjing / Babi bukanlah menjadi ukuran seseorang tergolong NU atau Muhammadiyah, Ahlissunnah atau Ahlilbid'ah dan BUKAN ukuran seseorang Islam atau Bukan Islam.


Tetapi yang sangat disayangkan adalah masih banyak warga NU bahkan sampai ke tingkat pengurus Anak Cabang yang tidak memahami ini. Sehingga kata-kata mereka bisa mengeruhkan ketenteraman hidup bermasyarakat. Menurut hemat saya, hal seperti ini terjadi karena biasanya kepengurusan NU dipilih berdasarkan loyalitas atau masa bakti, bukan berdasarkan keilmuan atau pemahaman tentang NU itu sendiri. Semoga Bermanfaat.

*) alumni PPFU Manggisan Jember 2005