Kamis, 19 Mei 2011

Kaya = ilmunya barokah. Benarkah...?

Si Edi (nama samaran) adalah seorang santri yang memperoleh predikat Santri Clemer. Dalam catatan pengurus pondok pada masanya, dia selalu istiqomah mengulang pelanggarannya terhadap peraturan2 pesantren. Segala model hukuman telah ditimpakan pada dia namun tidak membuatnya jera. Bahkan ditingkat pengurus pernah pula diadakan rapat koordinasi khusus membahasnya. 10 tahun kemudian si Edi dikaruniai Allah dengan keluasan rejeki, dia kaya raya dan usahanya selalu diberi keberhasilan.

Di sisi lain adalah si Ahsan (juga bukan nama sebenarnya) adalah santri yang mempunyai nilai oke di mata para pengurus pada masanya. Tingkahnya selalu mendapat pujian. Prestasinya mantab. 10 tahun kemudian ternyata dia di kasih kesempitan rejeki oleh Allah, usahanya selalu gagal.

Dengan 2 kisah diatas, biasanya kebanyakan kita sebagai santri akan berkomentar: "liat si Edi, walaupun di pondok MELER tapi ilmunya barokah, (dia kaya)". Sebaliknya "liat si Ahsan dia dulu anak baik-baik tapi ilmunya tidak manfaat, dia dikasih kesempitan hidup"

Masih umum jalan pemikiran santri mengukur barokah ilmu (manfaat ilmu) dengan kondisi hidup seseorang jika sudah boyong dari pesantren. Kalau melihat ada alumni di"kayakan" oleh Allah dianggapnya sebagai keberhasilan menuntut ilmu, jika ada yang mengalami kesulitan hidup dianggapnya sebagai kegagalan menuntut ilmu (madura: kening tola) itu adalah pandangan-pandangan salah kaprah yang sudah berlangsung lama yang perlu di LURUSkan.

Bagaimana meluruskannya? berikut adalah beberapa tips usulan saya:
1. Kita harus memahami arti ilmu manfaat / barokah. Ilmu manfaat adalah ilmu yang bisa mendekatkan si empunya kepada Allah yang mempunyai sifat Ilmu. Jelas sekali kedekatan seseorang kepada Tuhannya tidak diukur dengan materi. Bisa saja si Ahsan dalam kisah diatas adalah orang yang sangat dekat kepada Allah, dan si Edi adalah orang yang jauh. Ada juga yang mengartikan ilmu manfaat itu dengan arti ilmu yang selalu berkembang sebab diamalkan.
2. Urusan kaya / miskin materi itu adalah sama-sama merupakan ujian dari Allah. Si miskin Ahsan paham bahwa dirinya sedang diuji oleh Allah, karena dia tahu waktu dulu belajar di pondok bahwa hidup adalah ujian.  Sementara si Edi tidak menyadari bahwa kekayaannya adalah ujian, karena memang tidak pernah menerima pelajaran bahwa hidup adalah ujian. dengan begitu siapa yang manfaat ilmunya...? Edi atau Ahsan?
3. Bacalah kisah-kisah para Nabi, khususnya Nabi-Nabi yang miskin tapi dekat dengan Allah.

Semoga tiga tips di atas bisa mencabut pikiran salah yang tertanam sekian lama. Wallahu a'lam.

syafJTR.

Kesalahan Orang NU dalam memahami Madzhab NU

Oleh: Syafii Nur *)


Maha Suci Allah yang telah menciptakan.

Sudah umum dikalangan kita warga NU, kalau melihat orang sholat shubuh tidak baca doa Qunut lantas mereka melabeli dia sebagai orang "muhammadiyah". Sudah umum warga kita NU jika melihat ada orang memelihara anjing, mereka melabeli dia dengan "dia bukan orang Islam". Sudah umum warga kita NU jika melihat orang lagi sholat memakai celana dan tidak berkopyah, mereka melabeli dia dengan "dia bukan ahlussunnah". Pertanyaannya adalah: Benarkah apa yang dikatakan warga kita itu...?
Untuk menjawabnya mari kita melirik sedikit pada faham NU yang di AD/ART NU, biar kita tahu NU itu ada dijalan yang mana.

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan kelenturan sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan perkembangan jaman - melintas ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). 


Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).


Nah, dari uraian singkat diatas kita bisa memahami dan menjawab ketidaktahuan sebagian warga NU bahwa sholat shubuh tidak membaca doa qunut, sholat tidak memakai kopyah dan memakai celana panjang boleh-boleh saja dilakukan oleh warga NU, karena semua ada penjelasannya didalam salah satu 4 madzhab yang duikuti NU. Bahkan orang NU memelihara anjing-pun tidak masalah, toh menurut madzhab Maliky anjing itu tidak najis. Tinggal pintar-pintarnya dia mau ikut madzhab yang mana.

Kesimpulannya adalah bahwa Doa Qunut, Sarung, Kopyah, Anjing / Babi bukanlah menjadi ukuran seseorang tergolong NU atau Muhammadiyah, Ahlissunnah atau Ahlilbid'ah dan BUKAN ukuran seseorang Islam atau Bukan Islam.


Tetapi yang sangat disayangkan adalah masih banyak warga NU bahkan sampai ke tingkat pengurus Anak Cabang yang tidak memahami ini. Sehingga kata-kata mereka bisa mengeruhkan ketenteraman hidup bermasyarakat. Menurut hemat saya, hal seperti ini terjadi karena biasanya kepengurusan NU dipilih berdasarkan loyalitas atau masa bakti, bukan berdasarkan keilmuan atau pemahaman tentang NU itu sendiri. Semoga Bermanfaat.

*) alumni PPFU Manggisan Jember 2005

Kamis, 14 April 2011

Salah Kaprah di Masjid-Masjid NU di Hari Jumat

Sebelum saya ngelantur kemana-mana, saya nyatakan bahwa saya adalah warga NU asli sejak lahir. Saya pernah punya kartaNU, tapi sudah hilang. Sekarang saya hidup di masyarakat yang 85% warganya adalah warga NU. Sebab saya hidup di masyarakat NU, tentu saya setiap kali / sering kali melihat kebiasaan-kebiasaan masyarakat saya yang salah tapi kaprah, bahkan sampai pada taraf "menyesatkan". Salah satu salah kaprah itu adalah yang biasa terjadi di masjid- masjid NU, diantaranya adalah:

1) Berbaurnya (ikhtilath) jamaah laki-laki dan wanita
Setiap pelaksanaan sholat berjamaah. jamaah laki-laki masih punya akses pandang untuk melihat kepada jamaah wanita atau sebaliknya, suara wanita yang terdengar hingga kekuping jamaah laki-laki waktu dzikir menunggu imam, waktu membaca 'amin' dan waktu wiridan setelah sholat.  Diantaranya lagi adalah pulang serentak/ bareng antara laki-laki dan wanita.
Semua kejadian yang saya sebutkan diatas dianggap KAPRAH oleh mereka. Padahal semestinya tidak begitu. Misalnya saat pulang dari masjid, pada jaman Nabi dikisahkan jamaah wanita pulang lebih dulu dan laki-lakinya pulang belakangan / diam dulu di masjid sampai para jamaah wanita pulang semua, sehingga tidak timbul ikhtilath di jalan. Namun yang di kaprahi sekarang adalah jamaah wanitanya berlama-lama di masjid karena mereka beranggapan 'lama di masjid' sebagai bagian dari kebaikan sehingga keluarnya dari masjid terjadi ikhtilath karena berbarengan dengan jamaah laki-laki dan tidak dianggap sebagai suatu kesalahan.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah di sebagian masjid masih memiliki jeding / tempat wudlu tunggal sehingga disitu bukan hanya terjadi ikhtilat tetapi hingga terjadi 'penampakan' aurat.
Jalan keluarnya, hendaklah para pengurus masjid melihat kesiapan kondisi masjidnya jika ingin memperbolehkan wanita masuk masjid untuk berjamaah sholat jumat. Bukankah agama kita sudah menyatakan bahwa sholat wanita dirumah lebih baik daripada di masjid walaupun dibelakang Nabi.

2) Adzan JUMAT.
Adzan mempunyai dua fungsi; 1) sebagai pemberitahuan masuknya waktu sholat, 2) sebagai panggilan  / pemberitahuan akan didirikannya sholat berjamaah.
Pada hari jumat warga NU biasa mengumandangkan adzan DUA KALI, pertama adzan sebagai tanda masuk waktu dluhur dan kedua sebagai adzan jumat. Namun yang dianggap KAPRAH oleh warga NU adalah adzan pertama dikumandangkan dengan KERAS dan MERDU sementara adzan kedua dikumandangkan dengan CEPAT dan TIDAK KERAS. Disini terjadi SALAH KAPRAH pada adzan ke-2 (adzan jumatnya), dimana mereka menghilangkan fungsi adzan sama sekali atau lebih tepatnya mereka hanya melakukan adat / KEBIASAAN saja pada adzan kedua.
Menurut saya, semestinya adzan KE 2 ATAU ADZAN JUMAT juga dilakukan seperti adzan pertama, yaitu dengan SUARA KERAS dan MERDU, sehingga muslimin yang masih ada di luar mesjid biar cepat-cepat masuk masjid, karena ADANYA adzan kedua berarti Khotbah Jumat segera dilaksanakan dan dilanjutkan dengan sholat jumat.

3) Penarikan Amal
Sebagian masjid melaksakan TARIK AMAL saat khotib sedang berkhutbah. Kesalahannya adalah jamaah disibukkan menaruh amal dan dibisingkan dengan suara uang recehan karena wadah amalnya terbuat dari kaleng bekas, Sehingga khotbah tidak khitmat dan cendrung tidak didengarkan. Padahal, saat khotbah jumat dibaca, kita makruh melakukan amalan-amalan lain selain mendengarkan khotbah jumat. Artinya kita naruh jariah, wiridan, bincang ilmu, dakwah, dan bentuk ibadah lain saat khotbah, tidaklah mendapat pahala. Apalagi ngomong tak karuan saat khotbah...!  

Tambahan: 3 keadaan kita makruh melakukan ibadah;
1. saat khotbah jumat
2. saat ada suara adzan
3. saat ngantuk

4) Imam Sholat Jumat,
Kesalahkaprahan yang biasa dilakukan adalah saat naik mimbar. Biasanya mereka naik mimbar dengan diiringi sholawat, sholawat pertama untuk tangga mimbar pertama, sholawat kedua untuk tangga kedua, sholawat ketiga untuk tangga ketiga. Mereka begitu konsisten melakukan kebiasaan ini, padahal ini bukan bagian dari aturan agama, sampai-sampai, mungkin mereka tidak akan melangkah ke tangga berikutnya jika sholawat tidak di baca.
Pernah terjadi sebuah kasus dimana sang Bilal tertidur / tidak baca sholawat saat Khotib duduk diantara dua khotbah, maka saat itu si KHOTIB menunggu sholawat dibaca dan sepertinya enggan melanjutkan khotbah ke dua, sehingga, menurut saya, duduknya si Khotib terlalu lama hingga batas membatalkan khotbah. Ini terjadi karena si Khotib memahami bacaan sholawat di antara dua khotbah sebagai suatu keharusan, padahal tidak demikian adanya.
Untuk menghindari ini ada dua jalan yang perlu dilakukan, 1. mengadakan training untuk para khotib baru 2. jangan membiasakan diri membuat tiga tangga di mimbar.

5) Wirid / bacaan Dzikir selesai sholat jumat
Umumnya di masjid-masjid NU para imamnya membaca beraneka ragam bacaan; mulai dari tahlil, tawasul, kirim-kirim pahala Fatihah, pengumuman pengajian dan lainnya. Yang saya tahu, selesai salam sholat jumat, Nabi kita Muhammad saw menuntun kita agar tidak merobah posisi duduk tahyat akhir den membaca surat alFatihah 7x, alIkhlash, alFalaq, anNas masing-masing 7x, dengan begitu kita akan mendapatkan penghapusan dosa kecil hinga hari jumat berikutnya. Tetapi Saudara NU kita telah terjebak pada amalan tanpa didasari ILMU, mereka ngarang-ngarang sendiri bacaan2 setelah salam jumat dan menganggapnya sesuatu yang KAPRAH.

6) Salam-salaman (JABATAN TANGAN) selesai salam sholat.
Lihatlah oleh kalian bahwa mereka selesai salam sholat jamaah langsung salam-salaman kanan-kiri depan belakang, mereka beranggapan yang dilakukannya itu adalah kebaikan. Padahal, sebenarnya mereka telah mengganggu sesama muslimnya yang hendak mengamalkan wiridan ba'da jumat seperti yang diajarkan Nabi. Jalan keluarnya ialah lakukanlah saling jabat tangan itu nanti selesai doa, dengan demikian semuanya insyaalLah lebih tertib.

Sebenarnya masih banyak sekali kejadian-kejadian salah di masjid NU di hari jumat jika kita mau menelaahnya, namun saya cukupkan pada apa yang sudah saya sebutkan di atas, semoga menjadi peringatan untuk orang-orang yang mau diperingati dan rendah hati.

'aFWAN..!

Kamis, 17 Maret 2011

Tahlilan Sebagai Subkultur Islam (Pandangan lain memahami Tahlilan)

Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari Gus Dur. Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, dan berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur.
Saya tercengang menghadiri acara Tahlilan tujuh hari wafatnya Gus Dur di Ciganjur tadi malam. Sudah lama saya tidak ikut Tahlilan, bukan karena saya anti-Tahlilan, seperti kaum Wahabi atau para pengikutnya di Indonesia, tapi karena malas saja. Untuk Gus Dur, sepertinya saya punya energi lebih untuk datang ke acara yang dipadati ribuan orang itu.
Saya kira ini adalah acara Tahlilan terbesar sepanjang hidup saya. Ketika usia belasan, saya cukup sering menghadiri acara Tahlilan, baik untuk menghormati kerabat atau tokoh agama yang sudah meninggal. Sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan NU, Tahlilan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial saya ketika itu.
Tahlilan berasal dari bahasa Arab “tahlil” yang berarti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan.” Kata itu bisa juga berarti “pengucapan la ilaha illallah.” Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).
Malam itu saya benar-benar khusyu mengikuti bacaan-bacaan Tahlil yang dipimpin oleh KH Said Agil Siradj, Ketua NU yang juga teman baik Gus Dur. Saya melihat Pak Yusuf Kalla dan beberapa pejabat negara juga ikut larut dalam upacara yang sangat syahdu itu. Saya merasakan lantunan ayat-ayat suci dan doa-doa pada malam itu seperti sebuah sakramen yang sangat istimewa.
Drama Kematian. Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.
Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan. Tapi saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak ia meninggal.
NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya. Ketika kecil saya sudah diberikan “bocoran” untuk menjawab semua pertanyaan itu. Dan saya kira, Gus Dur juga.
Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar (di mana semua orang dalam keadaan telanjang, persis seperti dalam pose fotografer nudist asal AS, Spencer Tunick). Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya seukuran rambut dibelah tujuh.
Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka Jahanam.
Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir.
Subkultur Islam. Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Inilah argumen kaum Wahabi dan para pengikutnya di Indonesia, termasuk sebagian besar warga Muhammadiyah. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau membantunya di akhirat sana.
Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.
Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari Gus Dur. Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, dan berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur. Di akhir acara, perwakilan dari mereka memberikan sambutan berupa refleksi dan kenangan tentang almarhum KH Abdurrahman Wahid.
Mengikuti prosesi Tahlilan di rumah Gus Dur itu, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing.

Dia Berkata:
Pengalaman saya agak beda. Tetangga saya benar2 sampai berhutang untuk menyelenggarakan tahlilan karena di kampung saya tahlilan seakan2 wajib.Padahal kondisi mereka sangat kekurangan. Kalau   mengadakan tahlilan tanpa menyediakan hidangan mungkin dianggap nggak afdhol atau menyalahi tradisi.Sepanjang yang saya tahu ada riwayat mengenai kerabat sahabat nabi yang meninggal dan nabi memerintahkan oang2 untuk menghantarkan makanan untuk mereka karena sedang tertimpa musibah, tapi kenapa tradisi di sini (dikampung saya) kebalikannya, keluarga orang yg meninggal malah harus menyediakan hidangan untuk acara tahlilan? pengalaman lain, ketika teman saya meninggal karena kecelakaan sang ayah dengan baju masih berlumuran darah pergi ketoko untuk mebeli gula, teh dsb, untuk persiapan hidangan tahlilan, tragis yah… saya tidak anti tahlil bahkan selalu semangat setiap diundang tahlil karena itu berarti banyak jajanan dan pulangnya bawa berkat (makan gratis)..he he

Saya Berkata:
Memang yang harusdipahami oleh masyarakat NU adalah bahwa tahlilan itu tidak wajib.Jadi janganlah memaksakan diri bermewah-mewah memberi hidangan kepada hadirin dengan cara berhutang. Juga tidak boleh menggunakan harta si mayyit untuk bermewah-mewah tersebut. Biasa-biasa saja, agar selamat dari terjadinya bid'ah sayyiah. Kita mati-matian belani tahlilan dari orang-orang yang mengharamkannya,hingga kita terkadang melampaui batas dan benar2melakukan hal haram.

Benarkah Tahlilan/Yasinan Diadopsi dari Kepercayaan Animisme, Agama Hindu dan Budha?

Ada sebuah anggapan dari golongan pengingkar tahlilan yang menyatakan bahwa membaca Tahlilan/Yasinan dirumah si mayyit yang baru wafat, diadopsi oleh para Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Benarkah ?
Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka para Da’i penyebar pertama Islam di Indonesia termasuk wali songo merubah keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah wafat itu. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada Allah swt. dan berdo’a untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/penghormatan untuk tamu !
Penafsiran golongan ini bahwa majlis tahlilan sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam dan mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya ini ialah pemikiran yang tidak benar serta dangkal sekali ! Penulis sejarah seperti ini adalah penulis yang hanya mengarang-ngarang saja dan anti majlis dzikir. Pengarang ini tanpa memperhatikan tulisan atau ucapannya sehingga dia telah menyamakan kaum muslimin termasuk ulama pakar maupun orang awam yang ikut bercengkerama pada majlis tahlilan ini dengan orang-orang kafir Hindu yang tidak bertauhid. Hati-hatilah !!
Sejarah mencatat juga bahwa penyebar Islam yang pertama kali ke Indonesia dari Gujarat, Cina, Persia dan Iraq dimulai pada permulaan abad ke-12 M (jadi sebelum wali songo). Di negara penyebar-penyebar Islam (para Da’i) yang pertama kali di Indonesia ini sudah sering diadakan majlis dzikir dan peringatan-peringatan keagamaan diantaranya peringatan hari lahir dan wafatnya Nabi saw, peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw. dan lain sebagainya, walaupun cara mereka mengadakan peringatan-peringatan tersebut tidak persis atau sama dengan kita di Indonesia, tapi inti dan maknanya sama memperingati, menghadiah- kan pahala bacaan dan mendo’akan orang-orang yang telah wafat.
Semuanya ini (majlis dzikir, hadiah pahala amalan dan lain sebagainya) telah diterangkan dalam hadits Rasulallah saw. dan wejangan para ulama pakar dari semua madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad beberapa ratus tahun sebelum para Da’i datang ke Indonesia, antara lain yang telah kami kemukakan tadi.
Hal yang sama sering diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan sebagainya diseluruh dunia, yang mana pengikut madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765 M) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib kw., yang mana Imam Hanafi, Imam Malik ra pernah berguru pada Imam Ja’far ini.
Tidak lain mengumpulkan orang untuk peringatan keagamaan ini dan berkumpulnya orang-orang untuk membaca tahlilan adalah hasil ijtihad yang baik dari para ulama pakar, yang semuanya ini tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. Amalan ini mereka teruskan dan jalankan di negara kita yang mana sampai detik ini diamalkan oleh sebagian besar kaum muslimin di Indonesia.
Malah sekarang bisa kita lihat bukan hanya di negara kita saja, tetapi peringatan-peringatan Maulidin Nabi saw. dan kumpulan majlis dzikir ini sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian besar kaum muslimin diseluruh dunia dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan lain-lain) diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Afrika, Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan sebagainya.
Sedangkan cara pengamalan majlis tahlilan ini berbeda-beda tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doĆ” dan penghadiahan pahala bacaan ini kepada orang yang telah wafat. Ada yang mengamalkannya sendirian/per-orangan saja dan ada yang mengamalkan dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdo’a bersama yang ditujukan untuk si mayyit. Bertambah banyak orang yang berdo’a kepada Allah swt. sudah tentu bertambah baik dan lebih besar syafa’at yang diterima untuk si mayyit itu .
Didalam Islam kita dibolehkan serta dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar dari garis-garis syariat akidah Islam. Dengan demikian para Da’i merubah keyakinan orang-orang Hindu yang salah kepada yang benar yang sesuai dengan syari’at Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekan oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya sehingga yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85% beragama Islam mereka memeluk agama yang bertauhid satu !
Berdzikir pada Allah swt. itu boleh diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada adat yang sejalan dengan syari’at Islam serta ber- nafaskan tauhid adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu akan kembali kejalan yang benar yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagai mana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dalam hal ini apanya yang salah….?
Umpama saja, kita tolerans dan benarkan sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlilan tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari zamannya para Da’i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan dzikir/tahlilan yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini ? Para Da’i merubah dan mengarahkan adat Hindu yang keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh orang-orang yang baru memeluk agama Islam/muallaf ini, diterus- kan dengan bacaan-bacaan dzikir serta do’a-do’a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat baik untuk si mayyit khususnya maupun untuk orang yang masih hidup. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh kaum Hindu disajikan kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da’i untuk disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada para hadirin yang ada disitu.
Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. untuk si mayyit selama 1-3-7 hari atau lebih banyak hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam syari’at Islam tidak ada larangan setiap waktu untuk berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayat-riwayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo’a setiap saat, lebih banyak waktu yang digunakan untuk berdzikir dan berdo’a itu malah lebih baik!!
Sekali lagi bahwa para Da’i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dua kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang berbeda!
Jika pikiran golongan pengingkar yang telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah ‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai adopsi dari kaum ini? Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini ber puasa pada hari itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamat kan nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
Begitu juga Nabi saw. pernah ditanya mengenai puasa sunnah setiap hari Senin, beliau saw. menjawab; ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga (Allah swt.) menurunkan wahyu kepadaku’. Mengapa golongan pengingkar ini tidak menuduh puasa sunnah hari Senin yang dilakukan Nabi saw. untuk memperingati hari kelahiran beliau dan menghormati turunnya wahyu yang pertama, sebagai perbuatan meniru-niru golongan Kristen yang memperingati hari kelahiran Yesus ?
Wahai golongan pengingkar, janganlah kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlilan dengan memasukkan macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlilan/yasinan dan hanya menambah dosa kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlilan, yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan Belaka yang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.
Mereka juga mengatakan seperti biasanya amalan-amalan tersebut adalah Bid’ah, Syirk dan sebagainya karena tidak pernah dilakukan atau di anjurkan oleh Rasulallah saw., para sahabat atau tabi’in, dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sambil mengambil dalil hanya dari beberapa bagian al-Qur’andan Sunnah yang sepaham dengan pikiran mereka dan meninggalkan serta melupakan dari surat-surat Al-Qur’an dan Sunnah yang lainnya. Mereka lebih mengartikan Bid’ah secara tekstual (bahasa) daripada secara Syari’at.
Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya yang mana dzikir ini sudah pasti mendapat pahala karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an dan sebagainya dibuku ini). Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah dan nasehatilah secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang pelanggaran tersebut sudah di sepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan sebagainya yang semuanya masih mempunyai dalil.
Dan janganlah mudah mengafirkan golongan muslimin yang berdosa ter- sebut selama mereka masih mentauhidkan Allah swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Camkanlah hadits Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq, munafik karena hanya amal perbuatan mereka tersebut !
Bila golongan pengingkar ini tidak mau mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya, disebabkan mengikuti wejangan ulama-ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkan dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang mencela, mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam hal ini, karena semuanya itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan me- wajibkan muslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan, menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan hal-hal tersebut. Orang-orang yang mengamal kan kebaikan ini sebagai amalan tambahannya serta tidak ada diantara mereka yang mensyariatkan atau mewajibkan amalan-amalan tersebut.
Perselisihan/perbedaan dalam hal tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam, sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.  Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan untuk diperuncing atau di pertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan penguraiannya. Alang- kah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak mengkafirkan, men- sesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan sunnah yang baik itu ! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara muslimin sesamanya maupun antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.
Kita dibolehkan mengeritik, mensalahkan akidah atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya; menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt., menyerupakan/tasybih Allah swt. dengan makhluk-Nya, tidak mempercayai adanya Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam.
Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt. Amin

SayaBerkata: 
Tahlilan oke, saya sefaham bahwa tahlilan tidaklah tertolak. melainkan bermanfaat. Tapi adakah tahlilan yang dilakukan muslimin sekarang tidak melanggar batas-batas agama.....? setahu saya di wilayah saya di Lumajang Jatim, dalam tradisi tahlil didalamnya sudah ada beberapa kemungkaran2, misalnya shohibul musibah hingga berhutang gara2 melayani konsumsi para jamaah tahlil, jelas bersedekah hingga berhutang tidaklah dianjurkan dalam islam, juga kebiasaan melakukan tahlil selama 7 hari dianggap sebagai keharusan, padahal 2 atau 3 haripun tidak masalah, tapi banyak muslimin menganggapnya sebagai kesalahan jika tidak dilakukan 7 hari, pemahaman seperti ini saya pikir juga pelanggaran dalam agama. Keyakinan masyarakat muslim awam seperti inilah yang harus dihilangkan, sehingga TAHLILAN benar-benar agamis. Wallahu a'lam.
Orang berkata:
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Senin, 07 Maret 2011

BAGAIMANA MELAKSANAKAN MAULID YANG BENAR...?(1)

PANDANGAN NU TENTANG PERAYAAN MAULID NABI DAN KONTROVERSINYA

Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid’ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid’ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur’an dan as-Sunah. Adapun maulid  walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur’an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamnya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan as-Sunah.
Pengkhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar’i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar’i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: “Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus”.(Fathul Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul ‘Urubah dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro’ Mi’roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid’ah dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: “Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka’bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek.” (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: “itu biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: “apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: “Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!” (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)
Dan Nabi bersabda:” Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan tidaklah Tuhanmu lupa“.(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya“.(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman  dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark” tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: “Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah” dengan jawaban: “Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada”, peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum’ah. Al-Bayanul  Qowim, hal.28)
Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun  Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman
i n f o BISNIS: http://www.indowebmaker.com/websukses

BAGAIMANA MELAKSANAKAN MAULID YANG BENAR...?(2)

BENARKAH SHOLAHUDDIN ALAYYUBY PENCETUS PERAYAAN MAULUD?Alkisah
Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?
Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?

Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal h\Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda.
Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah  di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.
Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.