Puasa adalah mencegah diri dari setiap sesuatu yang membatalkan
mulai dari terbitnya fajar shodik sampai terbenam matahari dengan diawali niat.
Jika tidak niat, buka disebut puasa.
Niat puasa harus dilaksanakan dimalam hari. Yang disebut malam
hari adalah mulai dari magrib sampai subuh. Niat harus dilakukan setiap malam.
Tempat niat didalam hati. Maka tidak cukup jika hanya diucapkan di mulut saja,
seperti kebanyakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak faham masalah
ini.
Menurut pandangan madzhab Maliki, niat boleh dilakukan satu kali
saja di malam pertama bulan romadlon. tidak harus tiap malam, dengan niat puasa
sepanjang bulan romadlon. Ini tidak boleh diamalkan oleh penganut madzhab
Syafiiy yang belum faham cara berpindah madzhab.
Puasa wajib atas orang islam yang mukallaf, yang mampu berpuasa
dan yang suci dari haid dan nifas dan tidak sedang dalam perjalanan (musafir).
Sedikit catatan mengenai batalnya puasa menurut Syafi`iyah,
yaitu:
Pertama: Orang yang lupa, (di-)terpaksa, atau
tidak tahu bahwa hal-hal tersebut bisa membatalkan puasa, maka puasanya tidak
batal -meski yang dimakan itu banyak atau sedikit. Jadi kriteria batal menurut
Syafi`iyah adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa tersebut.
Kedua:
Orang yang batal puasa tanpa udzur (halangan) harus tetap meneruskan puasanya
hingga waktu buka.
Perihal Batalnya Puasa Dan Hanya Wajib Qadla
Ada beberapa hal yang membatalkan puasa dengan
konsekuensi qadla` saja tanpa berkewajiban membayar kafarah, yaitu:
- Masuknya
satu benda atau dzat ke dalam perut dari lobang terbuka seperti mulut,
hidung, lobang penis, anus dan bekas infus, baik sesedikit/sekecil apapun,
seperti semut merah; ataupun benda tersebut yang tidak biasa dimakan
seperti debu atau kerikil.
Masuk dalam kategori ini juga :
- Menghirup
obat pelega pernafaan (semacam vicks atau mint) ketika seseorang merasa
sesak nafas;
- Menelan
kembali ludah yang sudah berceceran dari pusat kelenjar penghasil ludah.
Seperti menelan kembali ludah yang sudah keluar dari mulutnya (dihukumi
sebagai benda luar); atau seseorang membasahi benang dengan ludahnya
kemudian mengembalikan benang yang basah (oleh ludahnya tersebut) ke
dalam mulutnya dan hasil ludah tersebut ditelannya lagi; atau menelan
ludah yang sudah bercampur dengan benda lain -lebih-lebih benda yang
terkena najis.
- Menelan
sisa-sisa makanan yang menempel di antara gigi-gigi meski sedikit,
sementara ia sebenarnya bisa memisahkannya tanpa harus menelannya.
- Menelan
dahak yang sudah sampai ke batas luar mulut. Namun jika kesulitan
memuntahkannya maka tidak apa-apa;
- Masuknya
air madlmadlah (air kumur) atau air istinsyaq (air untuk membersihkan
hidung) ketika wudlu hingga melewati tenggorokan atau kerongkongan karena
berlebih-lebihan dalam melakukannya.
- Muntah
dengan sengaja walaupun ia yakin bahwa muntahan tersebut tidak ada yang
kembali ke perut.
- Ejakulasi
ekster-coitus (Istimta’) seperti onani --baik dengan tangan sendiri maupun
bantuan isterinya--, atau mani tersebut keluar disebabkan sentuhan,
ciuman, maupun melakukan petting (bercumbu tanpa senggama)
tanpa penghalang (bersentuhan kulit dengan kulit). Hal-hal tersebut
membatalkan puasa karena interaksi secara langsung menyentuh kelamin hingga
menyebabkan ejakulasi.
Adapun jika seorang keluar mani karena imajinasi sensual, melihat sesuatu
dengan syahwat, melakukan petting tanpa sentuhan kulit dengan kulit (masih
dihalangi kain), maka tidak apa-apa, karena interaksi tersebut tidak
secara langsung menyentuh kelamin hingga menyebabkan ejakulasi. Dan
hukumnya disamakan dengan mimpi basah. Namun jika hal itu dilakukan
berulang-ulang maka puasanya batal, meskipun tidak ejakulasi.
- Makan
dengan sengaja pada siang hari, karena sudah terbitnya fajar atau belum
terbenamnya matahari.
Jika ia berbuka puasa dengan sebuah ijtihad yaitu membaca keberadaan awan
kemerah-merahan (sabagai tanda waktu buka) atau yang lain, seperti cara
menentukan waktu sholat (secara astronomis), maka dibolehkan atau sah
puasanya.
Namun, untuk kehati-hatian, hindari makan di penghujung hari (berbuka)
kecuali dengan keyakinan sudah saatnya berbuka. Juga dibolehkan makan di
penghujung malam (waktu sahur) jika ia menyangka masih ada waktu meski
sebenarnya waktu fajar sudah tiba dan dimulutnya masih ada makanan maka
sah puasanya. Sebab dasar hukum itu berangkat dari keyakinan awal yaitu
belum terbit fajar. Akan tetapi jika sudah jelas-jelas ia mengetahui
terbitnya fajar (imsak) sementara di mulutnya masih ada makanan kemudian
ia langsung memuntahkan makanan tersebut maka tidak apa-apa, namun jika
masih asyik memakannya maka puasanya batal.
- Datang
bulan (haid), nifas, gila, dan murtad. Sebab kembali pada syarat-syarat
sahnya puasa yaitu sehat akal (Akil), masuk ke jenjang dewasa (baligh),
muslim, dan suci dari haid dan nifas. Dengan demikian batalnya puasa
tersebut karena tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas.
Tanya Jawab tentang Orang-orang yang
boleh meninggalkan Puasa.
Ø Saya baru hamil,
bolehkah tidak berpuasa?
Jawaban :
Seorang ibu yang sedang hamil, jika
khawatir terhadap kesehatannya atau kesehatan janin yang ada di dalam perutnya
dibolehkan tidak berpuasa. Dalilnya adalah sabda Rosulullah saw:
إن الله وضع عن
المسافر شطر الصلاة ، وعن الحامل والمرضع الصوم
"Sesungguhnya
Allah telah memberikan keringanan bagi musafir untuk tidak mengerjakan
setengah shalat dan bagi orang yang hamil serta menyusui untuk tidak
berpuasa." (Hadits Hasan
riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai).
Ø Bagi wanita
menyusui pada saat Ramadhan, dan dia tidak kuat puasa, apakah harus membayar
fidyah, mengqadha, atau keduanya?
Jawaban :Wanita yang sedang menyusui
pada bulan Ramadhan dan tidak kuat untuk berpuasa maka dia boleh meninggalkan
puasa dan wajib mengqadha puasa pada hari lain dan tidak perlu membayar fidyah.
Dalilnya sebagai berikut:
1. Sabda Rasulullah saw:
إن الله وضع عن
المسافر شطر الصلاة ، وعن الحامل والمرضع الصوم
"Sesungguhnya
Allah telah memberikan keringanan bagi orang yang musafir untuk tidak
mengerjakan setengah shalat dan bagi orang yang hamil serta menyusui
untuk tidak berpuasa." (Hadits
Hasan riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai).
2. Dia tidak perlu membayar fidyah
karena dia masih mampu mengqadha puasa pada hari lain.
Ø Katanya orang
yang sakit boleh tidak berpuasa. Bagaimanakah batasan sakitnya?
Jawaban :
Batasan sakit yang dibolehkan tidak
berpuasa adalah sakit yang jika ia berpuasa maka sakitnya akan bertambah atau
keadaannya akan semakin melemah. Tentunya harus dikonsultasikan kepada
dokter muslim yang amanah dan bisa dipercaya. Dalil dibolehkannya orang yang
sakit meninggalkan puasa adalah firman Allah:
" ( yaitu ) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al Baqarah
: 184).
Ø Ada orang yang
sakit pada bulan Ramadhan sehingga tidak puasa sampai beberapa hari. Tapi, ia
baru mengqadhanya setelah lewat satu Ramadhan berikutnya. Apakah itu
dibolehkah?
Jawaban :
Seseorang yang sedang sakit pada bulan
Ramadhan boleh meninggalkan puasa sampai sembuh sakitnya, akan tetapi dia
mempunyai kewajiban mengqadha puasanya pada hari lain. Seharusnya dia segera melaksanakan
kewajiban tersebut sebelum datang bulan Ramadhan yang baru. Jika sampai bulan
Ramadhan lagi, sedang dia belum mengqadha' puasanya tanpa ada udzur maka dia
telah bermaksiat kepada Allah karena bermalas-malasan dan mengundur-undurkan
kewajiban mengqadha puasa. Orang yang seperti ini harus melakukan beberapa
kewajiban :
1. Beristighfar dan bertaubat kepada
Allah atas kesalahannya mengundur kewajiban mengqadha puasa.
2. Dia harus mengqadha puasanya
walaupun sudah melalui Ramadlan lain.
3. Mayoritas ulama mewajibkan orang
seperti ini untuk membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin sampai
kenyang setiap harinya dimana dia meninggalkan puasa Ramadlan karena dia
mengundurkan kewajiban mengqadha puasa sehingga lewat batas waktu yang telah ditentukan.
Ø Mulai usia
berapakah anak kecil wajib berpuasa?
Jawaban :
Anak kecil diwajibkan berpuasa ketika
dia sudah baligh.
Tanda-tanda baligh adalah salah satu
diantara empat hal berikut:
1. Telah bermimpi sebagaimana mimpinya
orang dewasa, atau
2. Tumbuh rambut di sekitar
kemaluannya, atau
3. Kalau sudah berumur 15 tahun
4. Khusus perempuan, kalau dia datang
bulan (haid). Kalau dengan menggunakan umur, biasanya seseorang bisa dikatakan
baligh.
Ø Tolong dijelaskan
siapa saja yang tidak wajib puasa?
Jawaban :
Yang tidak wajib berpuasa adalah
sebagai berikut:
1. Orang kafir,
2. Anak kecil,
3. Orang gila
4. Orang yang sedang sakit
5. Orang yang sedang melakukan
perjalanan ( musafir )
6. Perempuan yang sedang haid dan
nifas.
Ø Saya punya
seorang nenek/kakek yang sudah sangat tua. Mereka tidak kuat berpuasa lagi, apa
yang harus mereka lakukan untuk mengganti puasa mereka?
Jawaban :
Seorang kakek atau nenek yang sudah
sangat tua dan tidak kuat lagi berpuasa harus membayar fidyah kepada orang
miskin, yaitu setiap hari memberi makan satu orang miskin, sampai kenyang.
Dalilnya adalah firman Allah:
"Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184).
Ø Banyak tukang
becak dan kuli bangunan meninggalkan puasa. Mereka tidak sanggup mengerjakan
karena beratnya pekerjaan tersebut. Di sisi lain, pekerjaan itu merupakan mata
pencaharian utama. Bagaimana menyikapi hal ini?
Jawaban :
Mereka boleh meninggalkan puasa
Ramadhan, tetapi wajib mengqadhanya pada hari lain, khususnya pada saat-saat
mereka tidak bekerja. Seandainya mereka bekerja setiap hari tanpa ada waktu
libur, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengqadha puasa, mereka wajib
membayar fidyah kepada orang miskin, yaitu setiap hari memberi makan satu orang
miskin, sampai kenyang, sebagaimana yang diwajibkan bagi orang yang sudah tua.
Dalilnya adalah firman Allah:
"Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184).
Ø Apakah profesi
sopir bus antar kota yang setiap hari bekerja, termasuk mendapat rukhsah boleh
berbuka karena musafir?
Jawaban :
Sopir luar kota yang setiap hari
bekerja, termasuk dapat rukhsah boleh berbuka karena musafir. Akan tetapi
jika ia sedang berada di daerah atau rumahnya maka ia wajib berpuasa.
Ø Seorang musafir
mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Musafir yang bagaimanakah itu?
Jawaban :
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan jarak perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang musafir sehingga
mendapatkan keringanan berpuasa. Diantara mereka ada yang mengatakan 80 Km, ada
juga yang mengatakan kurang dari itu, atau yang lebih dari itu. Perbedaan dalam
hal ini sangat banyak sekali. Hal itu disebabkan karena tidak ada nash yang
menjelaskan hal tersebut.
Akan tetapi, yang benar adalah
pendapat yang mengatakan bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan seseorang tidak
berpuasa dikembalikan kepada "urf" (kebiasaan masyarakat). Jika
masyarakat mengatakan bahwa perjalanan tersebut merupakan perjalanan (safar),
berarti dia dibolehkan untuk tidak berpuasa. Sebaliknya, jika masyarakat
mengatakan bahwa itu bukan sebuah perjalanan (safar) maka seseorang tidak boleh
meninggalkan puasa. Contohnya: Masyarakat kita menyebut seorang yang melakukan
perjalanan dari Solo ke Jakarta adalah musafir dan perjalanannya disebut safar
(bepergian), dengan dasar itu dia boleh meninggalkan puasa.
Sebaliknya, jika ada orang yang
melakukan perjalanan dari Klaten ke Solo maka masyarakat tidak mengatakannya
melakukan safar dan dia bukan seorang musafir. Atas dasar ini, dia tidak boleh
meninggalkan puasa.
Kenapa dikembalikan kepada kebiasaan
masyarakat? Karena setiap nama yang tidak ada kriterianya dalam syariat maupun
bahasa maka kriterianya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat. Wallahu A'lam
Ø Jika musafir kuat
berpuasa, mana yang lebih utama baginya, apakah berbuka atau terus melakukan
puasa?
Jawaban :
Musafir yang kuat berpuasa, yang lebih
utama baginya adalah berpuasa. Hal ini karena dua hal:
1.
Firman Allah (artinya):
"Dan berpusa
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Al-Baqarah: 184).
2.
Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Pada bulan ini akan
dilipat gandakan amalan wajib dan sunnah. Oleh karena itu, orang yang berpuasa
pada bulan Ramadhan tentunya lebih baik dari pada yang berpuasa selain pada
bulan Ramadhan karena dia mendapatkan keutamaan waktu.
-family:"Times New Roman";mso-hansi-theme-font:
major-latin;mso-bidi-font-family:Tahoma;color:#333333'>1.
Firman Allah (artinya):
"Dan
berpusa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Al-Baqarah: 184).